Abu Jahal Kenapa Menolak Ajaran Nabi Muhammad
Ada hal menarik dari seorang musuh utama Nabi Muhammad SAW yaitu Abu Jahal (bapak bodoh) yang menariknya nama asli beliau adalah Amr bin Hisyām sangat bertentangan dengan panggilanya itu yaitu Abu Hakam (bapak bijak/pintar) yang disematkan oleh orang Quraisy waktu itu kepadanya.
Sebelum kemunculan Islam beliau memang dipandang seorang pintar, bijak, tokoh dan pemimpin utama masyarakatnya. Kecerdasan serta kelebihannya itulah yang menjadi sebab dia ditahbiskan oleh klan sukunya sebagai pemimpin dan diberi gelar Abu Hakam. Beliau berasal dari klan Bani Makhzum.
Beliau amat tahu dengan kemuliaan, kebaikan karakter, kejujuran Nabi Muhammad SAW yang berasal dari klan Bani Manaf.
Sebagai sebuah masyarakat tribalis dan nomadis alami terbentuk ikatan kelompok yang pada akhirnya membentuk klan dan suku yang berbeda lengkap dengan aspek fanatisme dan kebanggaan kelompoknya masing-masing.
Dalam interaksi dengan kelompok lain mengalami juga semacam “persaingan dan rivalitas” antar klan (suku) hingga setiap klan akan terbentuk semacam fanatisme kelompok (taashub) yang membanggakan keunggulan kelompoknya.
Fanatisme dan kebanggaan kelompok ini adalah sesuatu yang alami ada di semua peradaban manusia di dunia, di setiap negara, bangsa dan masyarakat.

Konteks sejarah waktu itu Mekkah adalah sebuah daerah kosmopolitan (urban) dengan beragam suku dan etnik pembentuknya dan terjadi rivalitas dan persaingan sengit antar kelompok untuk berebut pengaruh dan menunjukkan siapa yang terhebat, tertinggi, termulia diantara mereka.
Diantaranya ada dua kelompok selalu bersaing (Bani Makhzum vs Bani Manaf) dan salah satu ekspresi persaingannya sebagaimana yang diekspresikan oleh Abu Jahal sendiri;
“Hei Muhammad, aku tahu kau orang baik, jujur, ramah suka bersilaturahmi dan kau pun orang jujur ketika berbicara, kau tidak pernah menipu kami dan kamipun tidak membantah itu, antar klan kita selalu bersaing, klan aku (Bani Makhzum) dengan klan kamu (Bani Manaf)”.
“Kalian suka memberi makan orang lain, kami juga melakukannya, kalian kerap menolong orang lain, kamipun melakukannya, kalian suka memberi, kamipun melakukannya”.
“Kita setara dalam hal kemuliaan, ketinggian dan kedermawaman, tapi ketika kelompokmu berkata “kami memiliki seorang nabi yang diberi wahyu dari langit”, maka bagaimana kami dapat menyamainya?, demi Allah, kami tak akan mengimani dan tidak akan membenarkan (tunduk) padamu selamanya”
Inilah yang menjadi penyebab Abu Hakam (Abu Jahal) menolak Nabi Muhammad SAW dan Islam, bukan karena Abu Hakam tidak percaya Allah, bukan pula tak percaya integritas prilaku Nabi yang mulia, tapi dia menolak nabi dan Islam lebih karena; “Keangkuhan dan kebanggaan” fanatisme kelompoknya yang selalu bersaing dalam hal prestise dan rivalitas dalam kehidupan sosial.
Berdasar paparan diatas, ini bisa kita jadikan sebuah pemahaman bahwa;
“Bisa saja kita menolak orang lain, bukan karena orang lain itu salah, tidak baik, buruk, bejat dan brengsek tapi lebih karena orang lain adalah “bukan kelompok kita” (fanatisme buta dan kebanggaan kelompok)”
Saat ini umat Islam Indonesia sudah memasuki tahun politik untuk kontestasi 2024 dan secara politik ummat Islam sudah lama (terutama sejak pilpres 2014) terpecah belah menjadi beberapa kelompok.
Saat ini mulai memanas berbagai aksi gerilya untuk mendukung calon tertentu sekaligus sangat anti terhadap calon lain/musuh.
Pertanyaan sederhananya adalah:
Apakah dukungan dan penolakan kita terhadap kandidat tertentu itu benar benar berdasar alasan Rasionalitas, Iman, Islam, Moral, nilai kebenaran agama, argument ilmiah atau hanya karena fanatisme kelompok?
Mangga introsfeksi diri kita masing masing, jangan-jangan kita sama seperti Abu Jahal yang menjadi kufur hingga mati hanya karena menolak kebenaran yang sebenarnya dia sudah sangat tahu tapi dia tolak karena bukan dari kelompoknya.
( Sumber Group WA dari tulisan Ki Suwung )